Energi Bangsa di Persimpangan Jalan: Antara Aspirasi Luhur dan Bahaya Hawa Nafsu

Saudaraku se-Tanah Air,

Beberapa pekan terakhir, kita kembali menjadi saksi atas denyut nadi bangsa yang berdetak lebih kencang. Di berbagai sudut kota, energi besar anak-anak bangsa tumpah ke jalanan. Gema suara yang berisi harapan, tuntutan, bahkan kekecewaan, terdengar nyaring. Ini adalah sebuah potret demokrasi kita yang hidup; sebuah kewajaran dalam sebuah rumah besar yang penghuninya boleh berbeda pendapat.

Fenomena ini, jika kita renungkan dengan hati yang jernih, laksana sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi energi suci yang lahir dari aspirasi luhur untuk perbaikan (ishlah). Namun di sisi lain, jika tidak dikawal dengan iman dan akal sehat, energi ini bisa dengan mudah dibelokkan oleh hawa nafsu, ditunggangi oleh amarah, dan pada akhirnya justru mendatangkan kerusakan (mafsadat). Di sinilah kita semua, tanpa terkecuali, diuji kebijaksanaannya.

Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan kita akan esensi kekuatan sejati. Beliau bersabda:

“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini menjadi cermin yang sangat relevan bagi kita hari ini. Kekuatan sejati bukanlah milik mereka yang paling lantang berteriak di jalanan, bukan pula milik mereka yang paling kokoh memegang tameng kekuasaan. Kekuatan sejati adalah milik setiap insan yang mampu mengendalikan amarahnya, menjaga lisannya, dan tetap berpikir jernih di tengah suasana yang memanas.

Bagi saudaraku yang memilih menyuarakan pendapatnya di jalan, ingatlah bahwa tujuan yang mulia harus dicapai dengan cara-cara yang mulia pula. Luruskan niat semata-mata untuk kebaikan bersama, bukan karena terbawa emosi sesaat atau provokasi. Jagalah setiap langkah dan ucapan dari perbuatan yang merusak, karena setetes pun kerusakan yang kita perbuat akan mencoreng niat baik yang kita usung.

Bagi para pemangku amanah di pemerintahan dan aparat yang bertugas, pandanglah suara-suara itu sebagai bentuk cinta pada negeri. Dengarkanlah dengan telinga empati dan hati yang terbuka. Aspirasi yang disampaikan, meski terkadang dengan cara yang kurang kita sukai, adalah tanda bahwa kepedulian itu masih ada. Menjawabnya dengan kesabaran dan dialog adalah wujud kepemimpinan yang bijaksana.

Adapun bagi kita semua, mayoritas rakyat yang menyaksikan dinamika ini dari berbagai layar, tugas kita tidak kalah berat. Inilah saatnya kita mengamalkan perintah Allah untuk melakukan tabayyun—memverifikasi setiap berita yang datang. Sebagaimana firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…” (QS. Al-Hujurat: 6)

Jangan sampai jari-jemari kita di media sosial lebih cepat bergerak daripada akal sehat kita. Satu unggahan yang didasari prasangka, satu komentar yang penuh caci maki, bisa menjadi sepercik api yang membakar hutan persaudaraan kita sebagai bangsa (ukhuwah wathaniyah). Jangan biarkan secangkir kopi hangat di antara tetangga menjadi dingin hanya karena perdebatan sengit di dunia maya.

Saudaraku, Pada akhirnya, mari kita sadari bahwa perbedaan pandangan dalam politik dan kebijakan adalah hal yang fana. Namun, persaudaraan kita sebagai sesama anak bangsa adalah abadi.

Mari kita tundukkan kepala sejenak, mendinginkan hati, dan memanjatkan doa. Semoga para pemimpin kita dianugerahi hikmah untuk mendengar dan memutuskan. Semoga saudara-saudara kita yang berjuang menyuarakan aspirasi senantiasa menjaga niat dan adabnya. Dan semoga kita semua, sebagai penghuni rumah besar bernama Indonesia ini, dilindungi dari bahaya perpecahan.

Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *