Saudaraku se-Tanah Air,
Bulan Agustus kembali menyapa kita dengan gegap gempita. Di setiap sudut jalan, bendera merah putih berkibar dengan gagahnya. Tawa anak-anak terdengar riang dalam lomba panjat pinang dan balap karung. Tahun ini, di usianya yang ke-80, perayaan kemerdekaan bangsa kita terasa semakin istimewa. Sebuah pencapaian usia yang matang, yang patut kita syukuri bersama.
Namun, di tengah riuh rendah perayaan lahiriah ini, pernahkah kita berhenti sejenak untuk bertanya pada nurani kita yang paling dalam: sudahkah kita benar-benar merdeka?
Merdeka dari penjajahan fisik, alhamdulillah, telah diperjuangkan oleh para pahlawan kita dengan darah dan air mata. Tetapi, perjuangan sejati sebuah bangsa tidak pernah berhenti. Hari ini, musuh kita bukanlah serdadu bersenjata dari negeri seberang, melainkan belenggu-belenggu tak terlihat yang seringkali tanpa sadar mengikat jiwa kita sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita akan tujuan penciptaan, yang merupakan esensi dari kemerdekaan sejati:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56)
Ayat ini mengajarkan bahwa kemerdekaan tertinggi seorang hamba adalah ketika ia mampu membebaskan dirinya dari penghambaan kepada selain Allah. Bebas dari penyembahan terhadap hawa nafsu, bebas dari perbudakan harta dan takhta, serta bebas dari belenggu kebencian dan prasangka.
Maka, mari kita renungkan sejenak:
- Sudahkah kita merdeka dari penjara amarah dan kebencian di media sosial? Saat jari kita begitu ringan menghakimi, mencaci, dan menyebarkan berita yang memecah belah, sesungguhnya kita sedang terjajah oleh ego dan emosi kita sendiri.
- Sudahkah kita merdeka dari perbudakan gawai dan dunia maya? Saat waktu bersama keluarga tergadaikan demi notifikasi, saat tatapan mata yang hangat digantikan oleh layar yang dingin, di sanalah kemerdekaan kita atas waktu dan perhatian direnggut.
- Sudahkah kita merdeka dari belenggu gengsi dan gaya hidup? Saat kebahagiaan diukur dari apa yang kita miliki, bukan dari apa yang kita syukuri, sesungguhnya kita sedang memenjarakan diri dalam sangkar keserakahan yang tak bertepi.
Saudaraku, kemerdekaan bukanlah kebebasan untuk melakukan segalanya, melainkan kekuatan untuk memilih melakukan apa yang benar dan bermanfaat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Hadis ini adalah panduan kita dalam mengisi kemerdekaan. Kemerdekaan kita menjadi sempurna bukan saat kita berhasil menumpuk kekayaan untuk diri sendiri, tetapi saat kita mampu “memerdekakan” saudara di sekeliling kita dari kesulitan.
Maka, di momen perayaan 80 tahun Indonesia ini, mari kita maknai kembali kemerdekaan kita:
- Mari merdekakan lisan kita dari ucapan yang menyakiti, dan gunakanlah untuk menebar nasihat yang menyejukkan.
- Mari merdekakan waktu kita dari kesia-siaan, dan isilah dengan perbuatan yang membawa maslahat bagi lingkungan sekitar.
- Mari merdekakan hati kita dari prasangka buruk, dan lapangkanlah dengan maaf dan kasih sayang kepada sesama anak bangsa.
Semoga di usianya yang ke-80, bangsa kita tidak hanya merdeka secara lahir, tetapi juga merdeka secara batin. Merdeka jiwanya, merdeka pikirannya, dan merdeka hatinya. Sebuah kemerdekaan hakiki yang membawa kita lebih dekat kepada ridha Ilahi.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.