Dulu waktu masih kuliah, saya mengira bahwa politik hanya ada dalam pemerintahan dan urusan kenegaraan. Setelah lulus kuliah dan terjun di dunia kerja, saya baru paham bahwa politik ada di tempat kerja. Itu saya alami ketika akhirnya saya berada di pucuk pimpinan jajaran direksi. Bahkan secara eksternal, kompetisi antar perusahaan juga melibatkan ilmu politik dalam arti strategi mencapai tujuan untuk memenangkan persaingan. Itu dilakukan dengan berbagai cara. Tidak ada kata belas kasihan. Hukum bisa diakali. Hukum rimba jadi prinsip. Yang menang semakin berjaya, yang kalah harus gulung tikar.
Sebagai Presiden Direktur, posisi saya seolah ada dalam dua tekanan sekaligus: komisaris utama yang ada di atas saya dan para direktur di bawah saya secara struktural. Saya dipilih oleh dewan komisaris sebagai wakil para pemegang saham perusahaan. Tentu saja itu membuat iri para direktur yang lain yang secara lamanya dedikasi dan segi usia lebih dari saya. Belum lagi ditambah adanya pressure terlalu berlebihan dari komisaris utama terhadap saya. Dua hal itu menjadi tantangan berat buat saya. Namun, satu hal yang membuat tugas dan kewajiban saya, yang menurut saya terkesan menjadi lebih dramatis, ironis, dan dilematis adalah politik kantor dan adanya hal-hal di luar logika dan nalar.
Seminggu sebelum saya terpilih menjadi presiden direktur, desas-desus tentang siapa yang akan terpilih sudah tersebar luas di kalangan dewan direksi. Direktur keuangan yang selama ini menjadi kolega terdekat saya pernah menyinggung ihwal potensi akan terpilihnya direktur operasional sebagai presiden direktur yang baru menggantikan presiden direktur lama yang pindah haluan menjadi komisaris di salah satu BUMN. Saya selaku direktur bagian sumber daya manusia (SDM), nama saya tak pernah muncul dalam rumor akan digadang-gadang menjadi direktur utama. Kendati demikian, pada suatu malam sekitar jam 1 dini hari, saya terbangun oleh suara seperti ledakan di atap rumah. Saya yang memang tidur di kamar lantai atas (lantai 3) rumah saya, merasa kaget. Istri saya masih terlelap di samping saya seolah tak mendengar apa-apa.
Saya ke luar menuju balkon, menatap ke atas, dan memperhatikan sekeliling tidak ada siapa-siapa. Tidak mungkin ada orang melempar batu atau menyalakan kembang api, petasan, dan sejenisnya mengingat komplek perumahan saya dijaga ketat oleh petugas sekuriti di pintu masuk dan keluar serta saban 5 menit sekali ada patroli keliling komplek. Lagipula, malam itu bukan malam tahun baru yang biasanya dirayakan dengan menyulut kembang api. Suara ledakan itu terjadi tiga malam berturut-turut. Saya sebetulnya tidak terlalu khawatir karena jauh-jauh hari Gus Massar sudah mengingatkan akan hal tersebut. Gus Massar selama ini membimbing dan memantau saya dalam hal karir yang saya lakoni sejak saya belum menjadi direktur. Beliau mengatakan akan ada beberapa orang yang tidak suka dengan saya karena karir saya melejit begitu cepat mendahului beberapa senior yang sudah lama bekerja mengabdi di perusahaan.
Saya dipilih menjadi presiden direktur karena menurut penilaian dan catatan dewan komisaris, saya dianggap memiliki kemampuan manajerial, kemampuan kepemimpinan, dan kemampuan komunikasi interpersonal yang paling baik dibandingkan direktur yang lain. Track record kinerja saya dianggap paling mumpuni dengan prosentase kualitas dan kuantitas hasil kerja paling bagus. Saya tidak terlalu banyak berharap akan menjadi presiden direktur. Menjadi direktur saja bagi saya sudah merupakan pencapaian yang baik bagi karir saya. Naiknya saya menjadi presiden direktur membuat saya harus sering bertemu dan berkomunikasi dengan Gus Massar. Kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin harus ditopang oleh kemampuan olah rasa dan olah batin yang optimal dan maksimal. Dalam hal ini saya merasa cocok di bawah bimbingan Gus Massar dengan metode terapi yang sudah terbukti dijalankan oleh banyak klien yang datang berguru kepada beliau.
Tantangan yang saya hadapi sebelum terpilih menjadi presiden direktur sebetulnya sudah terlihat manakala salah satu direktur ada yang memfitnah saya dengan tuduhan saya ada main selingkuh dengan salah satu pegawai perempuan yang dinilai tidak etis. Isu itu bahkan sampai ke telinga dewan komisaris. Namun, isu itu dinyatakan tidak terbukti setelah dilakukan cross check ke banyak pihak termasuk memanggil pegawai yang bersangkutan untuk ditanyai. Selain itu, berembus kabar bahwa saya melakukan korupsi uang perusahaan dengan cara main mata dengan klien dari perusahaan rekanan. Lagi-lagi itu tidak terbukti. Kedua hal tersebut mampu teredam dan surut juga berkat bantuan Gus Massar melalui terapi dan amalan yang harus saya laksanakan. Saya melenggang dengan lancar menjadi presiden direktur.
Beberapa saat setelah bunyi ledakan di atap, istri saya yang tadinya terlelap dalam tidur tiba-tiba berteriak histeris. Dia seperti ketakutan. Suhu tubuhnya mendadak panas. Dia mengatakan bahwa sekujur tubuhnya terasa sakit. Saya segera membangunkan sopir dan bersama saya mengantar istri ke rumah sakit terdekat. Hasil diagnosis dokter yang sedang shift malam saat itu menyatakan bahwa istri saya hanya demam dan tidak ditemukan penyakit lain. Saya bersabar menunggu hingga esok tiba untuk menelepon asisten Gus Massar dengan tujuan menanyakan apa yang sebenarnya dialami istri saya. Setelah tersambung dengan Gus Massar, beliau berpesan agar saya membawa istri saya pulang hari berikutnya karena Gus Massar akan datang ke rumah saya untuk menetralisir energi hitam yang telah masuk ke dalam rumah. Saya segera mengontak asisten saya segera reservasi tiket pesawat PP untuk Gus Massar. Rumah saya perlu “dipagari”. Begitu kata Gus Massar.
Perihal kenapa justru yang terkena serangan gaib ilmu hitam adalah istri saya, menurut Gus Massar sebetulnya yang diincar adalah saya tapi karena secara batin kondisi saya sudah stabil dan kuat berkat terapi dari Gus Massar, maka serangan itu meleset mengenai istri saya. Jadi suara nyaring seperti ledakan pada malam itu adalah serangan gaib semacam santet yang dikirim oleh seseorang untuk menarget saya. Setelah proses pemasangan pagar gaib dinyatakan selesai, saya membawa istri saya pulang. Di rumah, istri saya mulai tenang dan sehat seperti semula. Ujian ternyata tidak berhenti di situ saja. Setelah terpilih menjadi presiden direktur, nampak jelas ada dua direktur yang seperti membangkang kebijakan dan instruksi saya. Apa yang saya perintahkan seperti dimentahkan agar gagal terealisasi dengan tujuan agar saya terkesan tidak becus menjadi presiden direktur. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Gus Massar membantu saya sehingga sekarang semua direktur dan pegawai hormat dan patuh kepada saya. Kepercayaan dewan komisaris dan perusahaan rekanan kepada saya juga bagus. Perusahaan tetap profit dan mengalami peningkatan. Demikian pengalaman yang bisa saya ceritakan. Sebetulnya masih banyak hal lain tapi saya kira itu sudah cukup. Semoga berguna bagi pembaca dan semoga Gus Massar tetap sehat dan panjang umur agar bisa semakin banyak membantu sesama. Terima kasih.
Herlambang Wijaya, Jakarta