MENGUTAMAKAN KARIR DAN CITA-CITA

Tantangan yang Umum Dihadapi Perempuan Saat Memulai Karir
Setelah selesai menamatkan kuliah paskasarjana (S2) di Monash University, Australia, saya diterima di sebuah perusahaan di Jakarta. Saat itu saya sempat dekat dengan seorang rekan kerja, sebut saja Aldi. Orangnya baik, lumayan tampan, dan berpendidikan. Dia tidak pernah menyatakan perasaannya secara langsung tapi sebagai perempuan dewasa, saya mengamati dan tahu pasti dari gelagat dan sikapnya. Dia sering chat WA saya dan DM melalui Instagram. Dia juga mengirimi saya hadiah ulang tahun dan sering mengajak makan malam. Perjuangannya menundukkan hati saya begitu kuat dan lama-lama saya luluh juga. Saya mulai naksir dengannya. Di sinilah letak masalahnya.
Meskipun saya menyukai Aldi tapi saya punya ambisi kuat untuk meneruskan sekolah ke tingkat doktoral (S3). Saya punya kesempatan untuk mendapatkan beasiswa di Monash University tempat saya mendapatkan gelar S2. Dengan kata lain, saya akan resign dari tempat kerja dan berada di Aussie selama 4 tahun. Saya memperkirakan akan banyak hal bisa terjadi dalam masa selama itu. Saya belum ingin terikat dengan komitmen dan janji. Apalagi menyangkut perasaan terkait asmara. Saya masih punya banyak mimpi yang harus diwujudkan. Dan mimpi yang saya inginkan kemungkinan besar bukan hal yang sesuai dengan apa yang dia inginkan bagi masa depannya. Oleh karena itu, saya ingin mengatakan dengan jujur keinginan saya.
Sikap saya lahir dari didikan orangtua saya terutama ibu saya. Ibu saya seorang single parent dengan dua anak. Sebagai anak sulung saya banyak menyaksikan bagaimana ibu saya berjuang untuk keluarga sejak bercerai dengan ayah saya. Pada masa itu, ibu saya diam-diam menemui seorang konselor. Bagaimanapun juga perceraian cukup membuat ibuku khawatir dan tertekan. Seorang psikolog menyarankan agar ibu saya menemui Gus Massar untuk terapi. Selama setahun mulai ada perubahan. Ibu saya terlihat lebih ceria dan bersemangat menjalani hidup walau tanpa suami. Kondisi keuangan perlahan membaik. Saya bisa melanjutkan kuliah S1 dengan bantuan ibuku meskipun saya sendiri juga sambil bekerja sampingan dan mendapat beasiswa karena IPK saya bagus.
Ibu saya kerap mengajak saya ke tempat Gus Massar. Saya harus lebih mengutamakan pendidikan dan karir mengingat kondisi keluarga. Begitu nasihat Gus Massar kepadaku. Dengan begitu, menurut beliau, saya bisa meringankan beban dan membantu ibu dan adik saya. Soal jodoh nanti akan ada masanya datang. Dalam hal menjadi individu yang berkualitas dan manusia yang berguna, perempuan tidak boleh kalah dari laki-laki. Itulah yang disampaikan oleh Gus Massar yang semakin melecut semangatku. Hidup memang harus diperjuangkan. Saya ingin keluar dari kemiskinan dan bisa membahagiakan keluarga serta bermanfaat bagi orang lain.
Akhirnya, saya dan Aldi memutuskan untuk bertemu dan makan di suatu tempat dan saya tanyakan apakah dia memang benar-benar mencintaiku. Sambil memegang jemari tanganku, dia mengaku. Dia menyatakan cintanya. Ini momen yang sangat berat karena saya tahu bahwa saya akan mematahkan hati seorang lelaki. Saya katakan terus terang apa yang menjadi ambisi karir dan mimpi saya dan apa konsekuensinya. Saya akan pergi jauh dan belum tahu apakah akan langsung pulang kembali setelah manamatkan studi. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepadanya karena sudah mencintai saya. Saya juga mengaturkan ucapan maaf belum bisa melanjutkan hubungan ke jenjang lebih lanjut menuju pernikahan. Dia agaknya kurang bisa menerima keputusanku. Saya lantas menghubungi Gus Massar agar bisa dibantu. Agar dia bisa melupakan saya dari perasaan cintanya yang menggebu.
Dua bulan setelah itu, saya memang lolos seleksi beasiswa S3 di Monash University. Beberapa bulan berikutnya setelah saya tiba di Aussie, saya mendengar kabar dia diterima bekerja di sebuah bank nasional dan ditempatkan di luar kota. I was happy for him. Kini dia telah menikah dan punya satu anak perempuan yang cantik dan lucu. Saya akhirnya juga berjodoh dengan orang Australia. Ibu saya ikut dengan saya dan suami. Adik saya juga ikut sekolah di sini. Ibu saya terharu. Saya juga bahagia. Perjuangan saya tidak sia-sia.
Septika Drajati Wulandari, Melbourne, Australia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *