Suamiku jatuh cinta lagi. Kali pertama dia selingkuh adalah dengan teman perempuan masa kuliahnya. Begitu ketahuan dia langsung minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Aku terpaksa memaafkan karena mempertimbangkan banyak hal. Kali ini dia kembali selingkuh dengan atasannya di kantor. Hatiku kebat-kebit setiap aku tahu suamiku akan melakukan perjalanan dinas bersama atasannya—seorang wanita yang ambisius, cerdas, tangguh dan tegas. Wanita yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk menempuh pendidikan dan mendedikasikan dirinya untuk fokus berkarir. Seorang wanita yang cantik, mandiri, anggun, berwibawa, dan mapan. Seorang wanita sosialita yang pernah muncul dalam sampul majalah bisnis sebagai salah satu dari 100 pengusaha wanita muda kaya dan berpengaruh di Indonesia.
Hati perempuan mana yang tidak merasa cemburu dan iri menyaksikan wanita lain dengan banyak kelebihan dari sisi otak, fisik, mental, dan finansial? Konon wanita tersebut keturunan pengusaha besar dan memang benar setelah aku telusuri dari berbagai informasi di media. Sungguh sebuah paket komplit pada diri seorang wanita. Merenungkan hal itu kadang membuatku mempertanyakan keadilan hidup: kenapa ada orang yang terlahir dengan menyandang privilege melimpah sedangkan di luar sana banyak yang terlahir dengan beragam kekurangan? Akan tetapi mempertanyakan itu semua hanya akan membuatku tidak bersyukur akan anugerah dari Tuhan yang telah aku peroleh selama ini. Aku terlahir dari keluarga pengusaha meskipun aku sendiri lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Aku tidak kekurangan uang. Itu salah satu hal yang patut aku syukuri.
Aku pernah menyarankan suamiku untuk resign dari pekerjaannya. Beralih ke pekerjaan lain atau pindah ke perusahaan lain. Namun, suamiku justru balik mengancam dengan memilih menceraikan aku ketimbang berhenti kerja keluar dari perusahaan. Untuk pindah ke perusahaan ayahku rasanya agak sulit mengingat bidang yang berbeda. Suamiku ahli dalam pertambangan. Perusahaan ayahku bergerak di bidang farmasi. Sebetulnya aku tidak takut bercerai mengingat anak baru satu dan dari kalkulasi perhitungan harta gono gini, bagianku cukup besar setara 12 milyar rupiah. Aku bisa saja meminta back up ayahku untuk menyokong keuanganku jika menjadi single mother. Ibuku tentu akan membuka tangannya dengan lebar, menerima kembali anaknya saat ada orang yang menyakiti anaknya di luar sana.
Aku tidak takut menyandang status janda. Bukankah di dunia ini banyak janda yang sukses dan berhasil tanpa dukungan sosok suami? Aku berusaha melihat suamiku dari sisi lain yakni dia belum pernah sekalipun menampar atau memukulku. Aku tidak pernah mendapat kekerasan fisik. Pada momen tertentu aku mengingat sesungguhnya betapa suamiku sudah banyak berkorban demi aku dan anakku, buah hati hasil pernikahan kami. Dia adalah suami yang bertanggung jawab dan penyayang. Dalam hal ini, pendapat sebagian orang benar adanya bahwa ketika kondisi ekonomi suatu rumah tangga stabil dan mapan, maka akan muncul ujian lain. Salah satunya adalah ujian tentang kesetiaan.
Aku berpikir keras agar suamiku lepas dari wanita selingkuhannya. Kalau aku harus mendatangi dukun santet untuk menghabisi nyawa wanita tersebut, sungguh aku tak punya nyali. Aku takut akan dosa dan karma buruk. Aku juga tak ingin melakukan tindakan kriminal dengan merencanakan pembunuhan terhadap suamiku sendiri sebagaimana ada dalam berita yang tersiar di surat kabar cetak dan online atau dalam film bergenre kriminal dan misteri. Sungguh aku tidak berani. Ajaran agama dan didikan orangtuaku menentang itu semua. Hal-hal yang berlawanan dengan hati nuraniku.
Mayoritas pegawai di kantor pusat maupun cabang sudah tahu hubungan suamiku dan atasannya. Duet kinerja mereka berdua seolah mendapat legitimasi dan pemakluman karena berpengaruh terhadap kenaikan profit perusahaan. Dalam performa band, mereka berdua bagaikan vokalis dan pemain alat musik yang seiring sejalan melantunkan lagu melodis. Merdu dan harmoni dalam kombinasi nada. Dinantikan kemunculannya oleh penonton dan disambut tepuk tangan saat tampil di panggung.
Sebetulnya ibuku pernah mengalami hal yang sama. Ayahku pernah tergila-gila dengan seorang wanita dan itu terjadi saat aku berusia 12 tahun. Dari cerita ibuku, wanita tersebut adalah artis film dan foto model kenamaan. Begitu kuat dan tabahnya ibuku mampu menyimpan rahasia masalah rumah tangganya sehingga aku dan kedua adikku tidak tahu. Aku bahkan tidak pernah melihat ayah dan ibuku bertengkar. Cekcok dan adu mulut pertengkaran orangtua sungguh tidak baik jika dipertontonkan di depan anak-anaknya. Berangkat dari pengalaman ibuku yang bisa keluar dari prahara rumah tangga, aku menemui Gus Massar. Nama yang sering disebut ibuku ketika aku menceritakan apa yang terjadi dengan suamiku. Di sinilah peran ibuku sangat penting dalam membesarkan hatiku untuk bisa keluar dari kemelut perselingkuhan ini. Betapa banyak orangtua yang seakan kehabisan waktu untuk sekadar mengobrol dengan anaknya atau bertanya apakah anaknya ada masalah, baik-baik saja dan bahagia menjalani hidup ini.
Setelah tiga kali sesi terapi dan konsultasi dengan Gus Massar, suatu peristiwa yang menurutku unik kemudian terjadi. Aku mendengar kabar bahwa atasan suamiku dipindah ke luar pulau berdasarkan keputusan ayahnya. Perusahaan yang dipimpinnya beralih ke tangan adik laki-lakinya yang baru saja pulang dari menamatkan kuliah di Amerika Serikat. Sejak saat itu, suamiku seperti kehilangan rasa cintanya pada sang wanita. Tak pernah berbicara terbuka di hadapanku melalui telepon seperti dulu saat mereka masih dalam satu perusahaan. Aku sudah tidak mendengar lagi suamiku menyebut nama wanita itu. Suamiku kini jadi lebih mampu meluangkan waktu untuk mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepadaku dan tentu saja anak kami. Itulah kisahku. Kisah kehidupan rumah tanggaku yang tidak selalu mulus tapi aku berusaha ikut menjaganya agar “kapal” rumah tangga kami tidak limbung dan karam diterjang ombak dan badai di lautan kehidupan yang penuh ujian. Terima kasih, Gus Massar.
Sekar Arum (nama samaran), Bintaro, Tangerang Selatan