Malam itu aku masih ingat, Kamis, 11 November 2022 pukul 22.07. Hujan lebat menyisakan genangan air di jalanan beraspal yang sepenuhnya tidak rata. Lalu lalang kendaraan turut menghempaskan genangan air dengan cipratan dan tempias ke pinggir jalan. Gerimis tipis masih turun dan angin berhembus membelai dedaunan. Sesekali kilat menggores langit yang gelap. Itulah pemandangan yang aku saksikan dari balkon lantai dua rumah tempat kosku. Tiba-tiba hapeku berdering. Ayesha meneleponku.
“Tau nggak,Din? Ryan barusan ke rumah gue nyariin lu,” kata Ayesha dari seberang sana.
“Wah, berarti Ryan pernah membuntuti gue dong waktu gue datang ke rumah lu,” kataku menimpali. Kemudian aku menjelaskan kepada Ayesha untuk tidak memberi informasi apapun kepada Ryan terkait keberadaanku.
Sudah satu minggu aku memutus semua jalur komunikasi dengan Ryan. Media sosial yang terhubung dengannya aku blokir. Puncaknya adalah aku terpaksa menonaktifkan akun Instagram, Facebook, dan Twitter milikku. Itu semua aku lakukan agar Ryan tidak lagi mencari dan menghubungiku. Aku sudah mengatakan padanya bahwa hubungan kami telah berakhir tapi dia tidak bisa menerima keputusanku.
“Pokoknya aku nggak mau putus sama kamu, Din. Gue masih cinta ama lu,” ucap Ryan dengan memaksa ketika aku mengakhiri hubungan kami. Dia tidak pernah mau mengerti bahwa banyak hal yang aku merasa tidak cocok dengannya. Janji manis bahwa dia akan berubah selalu dia ulang.
Semua bermula ketika aku jadian dengan Ryan. Sejak itu dia mulai menerapkan peraturan yang mengekang dan melanggar batas privasiku. Aku tidak diperbolehkan bekerja. Padahal dia tidak sanggup mengganti penghasilanku yang hilang ketika misalnya aku tidak bekerja. Dia juga melarang aku bergaul dengan teman-temanku. Jika aku ingin berkunjung dan bermain di rumah temanku, maka dia merasa wajib mengantar dan menjemputku. Bahkan dia pernah memaksaku pulang mendadak. Sikap cemburu berlebihan sering dia tunjukkan saat aku membicarakan pekerjaan dengan rekan laki-laki satu profesi.
“Aku nggak bisa pacaran sama cowok yang cemburuan, posesif, dan negative thinking,” kataku pada Ryan suatu ketika.
“Nggak, Din. Aku janji nggak akan posesif lagi sama kamu. Aku sudah sadar. Kamu boleh kok kerja. Kamu boleh juga bergaul sama temen-temen kamu. Aku nggak akan cemburuan dan nuduh-nuduh yang aneh-aneh lagi. Aku juga nggak akan jemput dan maksa kamu pulang dari rumah teman. Maafin aku, ya,” kata Ryan mengiba.
Namun, Ryan masih terus memaksa. Dia suka menelponku di jam kerja, mengirim chat WA, video call, komen tidak jelas di Instagram dan menanyakan aku sedang apa dan di mana melalui DM. Hingga kemudian aku memblokir nomor WA nya dan semua akses pertemanan di media sosial. Sejak saat itu aku pindah kos.
Bukan Ryan kalau tidak keras kepala. Dia menanyai semua temanku. Bahkan dia berani datang ke kantor dan menunggu di ruang resepsionis padahal resepsionis sudah bilang kalau aku sudah pulang. Memang saat itu aku sudah pulang. Ryan kesulitan memata-matai aku di kantor. Kantorku hanya menempati satu lantai di sebuah gedung berlantai 30 bersama dengan beberapa kantor perusahaan lainnya. Dia tidak mungkin berdiri terus di lorong gedung. Jika dia menunggu di tempat parkir, dia juga sulit memantau karena pintu keluar ada banyak sekali. Lagipula gedung tersebut juga tersambung dengan mall.
Puncaknya adalah suatu ketika Ryan datang ke rumah orangtuaku di kawasan Megamendung, Bogor. Karena aku pernah menceritakan masalahku dengan Ryan kepada mamaku, maka Ryan dinasihati oleh mamaku.
“Mas Ryan, untuk bisa pacaran dan menikah, perlu kesepakatan antara kedua belah pihak. Bahkan keluarga juga perlu tahu dan memberi restu. Tetapi, untuk putus atau bercerai, keputusan bisa diambil secara sepihak. Jadi Mas Ryan salah besar kalau mengatakan bahwa Dina anakku tidak berhak memutuskan secara sepihak. Dina punya hak untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi masa depan dan hidupnya,” kata mamaku sebagaimana diceritakan kepadaku.
“Tapi, Bu, laki-laki sudah dipilih untuk menjadi pemimpin. Seharusnya lelaki yang lebih berhak memutuskan. Yang seharusnya menjatuhkan talak itu lelaki, bukan perempuan,” bantah Ryan.
“Lho, ini kan masih pacaran. Bukan pernikahan. Dina memutuskan hubungan pacaran tidak terkait dengan talak pernikahan,” sergah mamaku.
“Iya, Bu, tapi nggak bisa begitu juga, Bu. Kan segala sesuatunya bisa dibicarakan baik-baik. Bukannya main ambil keputusan bubar begitu saja. Lagipula saya sudah berjanji untuk berubah.”
“Sejak awal pacaran kan sudah banyak terjadi pembicaraan secara baik-baik mas. Dan Mas Ryan ini selalu mau menangnya sendiri. Maunya hanya dituruti, maunya dianggap benar terus, nggak mau saling introspeksi,” kata mamaku.
“Tapi kan saya pacarnya, Bu. Saya berniat baik. Saya melarang Dik Dina kerja kan untuk menunjukkan bahwa saya mau bertanggung-jawab sepenuhnya.”
“Bertanggung jawab sepenuhnya bagaimana? Kalian kan baru pacaran tiga bulan. Ini baru masa pengenalan dan penjajagan. Belum tentu jadi suami istri. Kok sudah melarang kerja? Menyuruh-nyuruh pulang bahkan memaksa menjemput, ketika Dina main. Padahal kalian bawa kendaraan sendiri-sendiri. Belum menikah saja sudah banyak menuntut apalagi kalau sudah berumah tangga. Saya lebih memikirkan kebahagiaan anak saya,” kata mamaku tak mau kalah.
“Bu, saya ini lelaki…”
“Sudah jangan omong. Lelaki itu tidak semua sama kualitasnya. Pemimpin itu ada banyak macam-macam jenisnya. Dan gue nggak akan membiarkan adik gue menikahi sembarang lelaki, yang kualitas kepemimpinannya meragukan. Pergi loe…!” teriak Mas Sandi, kakakku, yang akhirnya keluar ke ruang tamu ketika mendengar mamaku berbantah-bantahan dengan Ryan yang keras kepala.
Mas Sandi kemudian menarik kerah baju Ryan, memaksanya berdiri dan menyuruhnya keluar dari rumah. “Loe keluar, gue gebukin di sini atau gue laporin ke polisi, pilih!” Ryan akhirnya keluar dengan wajah memerah.
Setelah mama dan kakakku menceritakan semuanya kepada papaku, akhirnya diambil keputusan bahwa aku akan diajak bertemu dengan Gus Massar di Semarang.
“Kita bisa saja mengambil langkah lebih serius. Tapi kita juga perlu memikirkan nasib dan masa depan Ryan. Kalau dia masuk RS atau penjara, urusan jadi panjang. Besok mama dan Dina ikut papa bertemu Gus Massar. Semoga semua bisa selesai dengan baik,” ungkap papaku.
Setelah beberapa kali aku diajak papaku melakukan konseling dan terapi di tempat Gus Massar, sikap Ryan ada perubahan. Dia sudah tidak lagi menghubungi aku. Aku hanya mendengar kabar dari Ayesha bahwa Ryan melanjutkan kuliah ke jenjang paskasarjana sembari tetap bekerja. Aku hanya berharap semoga dia menjadi lebih baik dan bisa menemukan wanita yang bisa menerimanya suatu saat nanti.
Berdasarkan kisah nyata dari Dina di Bogor.