TANYA
Assalamu’alaikum Ustad Massar. Semoga Ustad senantiasa sehat. Ijinkan saya menceritakan kegelisahan saya tentang anak laki-laki saya. Saya punya tiga anak laki-laki. Anak saya yang pertama atau anak sulung ini bandelnya minta ampun. Dia sering gonta-ganti pacar tapi tidak ada yang jadi. Saya menghitung sudah lima kali ganti pacar. Sedangkan adiknya persis (anak saya yang tengah) sudah lulus kuliah dan punya bisnis yang dia rintis bersama satu teman kuliahnya. Dia hanya berpacaran sekali dan sudah berencana menikah. Anak saya yang bungsu (anak terakhir) masih sekolah di bangku SMA.
Putra sulung saya memang berparas tampan. Tak heran jika banyak gadis yang tergila-gila. Belum pernah anak saya ini ditolak cewek. Tapi kuliahnya berantakan. Sudah tiga kali berganti kampus dan jurusan tidak ada yang selesai. Saya sudah capek menasihati dan memberi pengertian. Ayahnya (suami) saya sudah sering memarahi tapi tak ada perubahan sama sekali. Sedangkan teman-teman seusianya sudah banyak yang menikah dan punya anak. Saya sebenarnya sudah mentolerir misalnya kalau memang dia tidak berminat dengan kuliah lebih baik membantu ayahnya di perusahaan agar bisa belajar menangani manajemen proyek dan bisnis. Setelah itu mencari pendamping hidup dan menikah. Hidup wajar seperti orang kebanyakan dan tidak neko-neko.
Saya akui, Ustad. Sebelum menikah dengan saya, suami saya juga playboy. Sejak menikah dengan saya, sifatnya sudah berubah. Dia sibuk fokus kepada perusahaannya dan keluarga. Dia sangat mencintai saya dan anak-anak. Kadangkala suami saya mengeluh apakah putra sulung kami ini mewarisi sifat suami atau bagaimana. Yang jelas saya dan suami ingin agar putra sulung bisa segera menikah dan berhenti main perempuan. Mohon Ustad berkenan membantu.
Kinanti Larasati, Yogyakarta
JAWAB
Wa’alakumussalam warohmatullohi wabarokatuh. Ibu Kinanti semoga diberi kesehatan sekeluarga. Pertanyaan Anda ini membutuhkan banyak jawaban tetapi tidak apa-apa. Semoga jawaban saya ini juga bisa menjadi perhatian dan bermanfaat bagi pembaca lain yang memiliki problem yang mirip atau serupa. Saya memaklumi kekhawatiran sebagian besar orangtua yang memiliki anak entah laki-laki atau perempuan yang sudah cukup umur tapi belum menikah. Alasan ingin segera menimang cucu atau massive-nya pertanyaan, “Kapan anakmu menikah? Kamu tidak ingin punya cucu?” sering membuat risau pikiran orangtua.
Jawaban akan saya mulai dari perihal anggapan masyarakat secara umum bahwa dengan menikah, seseorang bisa berubah karakternya atau berubah nasibnya menjadi lebih baik ketimbang tidak menikah (hidup melajang atau jomlo). Anggapan ini tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Dengan menikah, seseorang bisa saja hidupnya menjadi lebih baik tapi tidak sedikit juga yang setelah menikah justru terperangkap dalam penderitaan karena tidak mampu mengatasi problem rumah tangga. Ini akibat pola asuh (parenting) yang keliru dan faktor lingkungan sosial serta pendidikan yang secara tidak sadar mengajarkan bahwa dengan menikah dan berumah tangga, seseorang pasti bahagia. Belum menikah, belum berkeluarga, belum laku, perjaka tua, perawan tua (maaf saya memakai istilah ini dari percakapan sehari-hari masyarakat awam), dianggap sebagai hal yang tidak wajar dan berkonotasi buruk. Dengan kata lain, orang yang belum menikah karena banyak faktor penyebab, dan orang yang sudah menikah, harus diposisikan pada level yang sama dalam persepsi dan asumsi yang adil sejak dalam pikiran.
Sebagai seorang ibu, wajar bila menginginkan kebahagiaan dan masa depan yang baik bagi anak sendiri. Tapi apa yang membuat orangtua bahagia belum tentu membuat anak bahagia. Seringkali yang muncul adalah egoisme dan keinginan orangtua yang dipaksakan kepada anaknya dengan dalih “demi kebahagiaan anak”. Banyak juga orangtua yang masih terpengaruh anggapan umum dari pendapat tetangga, saudara, atau masyarakat sekitar. Padahal harusnya orangtua ada di barisan depan membela anak dari “serangan” opini masyarakat yang hanya bisa berkomentar tapi tidak memberi solusi. Orang-orang yang bertanya “kapan menikah” tidak berkontribusi pada biaya menikah, mencarikan jodoh, dan penanganan masalah yang terjadi setelah menikah.
Di zaman serba digital dengan banyaknya mesin dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), masalah sosial kian kompleks dan tidak bisa disamakan dengan masalah sosial pada zaman dulu saat Anda masih single dan muda. Oleh karena itu, Anda dan suami perlu duduk bersama dengan putra Anda guna menjalin komunikasi yang baik tanpa adanya amarah, egosentris, dan pemaksaan kehendak. Tanyakan baik-baik apa yang putra Anda inginkan dan kenapa belum ingin menikah. Mengenali anak sendiri kadang belum bisa dilakukan oleh semua orangtua. Banyak orangtua yang dekat secara fisik dengan anak tapi jauh secara emosional. Ini yang perlu dibangun terlebih dulu.
Maka yang perlu diajarkan oleh orangtua kepada anak dan ini sebetulnya harus dimiliki oleh siapapun sebelum memasuki gerbang pernikahan adalah soal kemandirian. Menjadi manusia yang mandiri (independent) tidak akan direndahkan oleh orang lain dan menjadi lebih siap dalam menghadapi hidup terutama menjalani rumah tangga. Normalnya, orangtua meninggal lebih dulu daripada anak kalau dilihat dari kalkulasi usia. Ini bukan perhitungan atas dasar kepercayaan atas agama, takdir, nasib, atau penyebab kematian yang beragam menyasar manusia tanpa pandang usia. Sang anak akan menjalani rumah tangga sendiri dengan segala dinamikanya. Orangtua akan meninggal dan tak bisa ikut campur lagi masuk ke dalam urusan rumah tangga anaknya. Orangtua sudah tidak tahu lagi apakah anaknya menderita atau bahagia dalam pernikahan. Resiko ditanggung sang anak. Nah, dengan bekal kemandirian, sang anak baik yang sudah menikah atau belum, akan bisa dilepas oleh orangtua tanpa kekhawatiran. Apa saja kemandirian itu?
Pertama, mandiri secara finansial. Pada tahap ini seseorang akan lebih percaya diri mengambil keputusan-keputusan kecil dalam hidup. Ketika membeli sesuatu, seseorang tidak harus mempertimbangkan darimana uangnya atau meminta persetujuan orang lain untuk membeli sesuatu karena uang berasal dari hasil kerja sendiri bukan mengandalkan pemberian orang lain. Jika sudah terbiasa mengambil keputusan-keputusan kecil dan hasilnya bagus maka seseorang akan lebih percaya diri dalam mengambil keputusan besar yang lebih rumit dan berdampak besar dalam hidup sendiri dan hidup orang lain. Jika level ini sudah tercapai maka seseorang akan lebih siap masuk ke level kedua yaitu mandiri secara psikologis. Pada level ini dalam menjalani hidup, seseorang akan lebih otentik mengambil keputusan sesuai kehendak dan pertimbangan sendiri karena tidak perlu persetujuan (approval) dari orang lain. Dukungan dari pihak lain itu memang baik dan perlu tapi tetap percaya diri meskipun tak ada yang mendukung keputusan atas hidup sendiri juga hal yang penting. Di sini dia lebih sadar bahwa penderitaan satu orang akan merembet pada orang lain akibat salah ambil keputusan dan kebahagiaan yang tercapai akan berdampak pada kebahagiaan orang lain karena mengambil keputusan yang tepat.
Ketiga, mandiri secara ideologis. Pada level ini, seseorang sudah sadar bahwa memiliki sudut pandang dan nilai-nilai yang berbeda dengan orangtua, teman, dan masyarakat itu bukan hal yang salah. Selama itu tidak mengganggu dan merugikan orang lain serta menjunjung kemanusiaan. Belum menikah bukanlah aib. Belum mencapai ini itu bukanlah keburukan. Ketiga jenis kemandirian tersebut akan mengantarkan seseorang dengan mudah untuk mencapai kemandirian yang keempat yaitu mandiri secara spiritual. Di sini, seseorang hidup sesuai jati dirinya. Sesuai dengan panggilan jiwanya. Sesuai dengan blue print. Seseorang pada level ini sudah tahu untuk apa dan untuk menjadi apa dia ada dan dilahirkan ke dunia. Dengan mencapai level ini, seseorang tak akan mudah membandingkan kondisi diri dengan orang lain. Kok dia sudah begitu, saya belum. Kok orang lain belum, saya sudah. Karena pada level ini, seseorang akan berjalan dan berlari pada jalur track nya sendiri fokus pada tujuan dan garis finish bukan berjalan dan berlari sambil mengurusi dan merecoki gaya berjalan dan berlari orang lain.
Yang terakhir sebagai penutup, silahkan Anda, suami dan putra sulung Anda datang ke tempat saya. Masalah jodoh dan pernikahan, relasi orangtua dan anak, tidak bisa saya jabarkan hanya dengan satu dua kalimat atau paragraf. Masih banyak “Faktor X” yang perlu jadi acuan selain bobot, bibit, bebet dalam menimbang dan memilih calon pendamping hidup. Salah satunya adalah keberuntungan. Anda tentu tidak ingin putra Anda salah pilih pasangan dan masuk ke dalam pernikahan yang kacau dan bubar di tengah jalan karena jodoh yang baik adalah bagian dari rejeki yang baik. Dalam hal ini, ungkapan “lebih baik jomlo tapi bahagia daripada menikah tapi sengsara” jadi menemukan validasinya. Semoga permasalahan putra Anda cepat selesai. Sampai ketemu.