Pada awalnya, saya hanyalah pegawai biasa. Seorang pekerja kantoran kelas bawahan. Bukan atasan dengan gaji fantastis dan mendapat limpahan fasilitas mewah. Saat itu saya tinggal di kamar kos ukuran 3×4 meter di pinggiran Jakarta dengan fasilitas kamar tidur dan toilet dalam satu ruangan. Sebagai lajang dengan gaji UMR, kehidupanku seperti buruh perantauan pada umumnya. Berangkat pagi dan berjejalan di KRL hingga ke tempat kerja. Itu berlaku sama sebagaimana ketika saya pulang dari tempat kerja menuju kos. Berdiri sepanjang perjalanan sambil melihat jendela kereta yang menyuguhkan pemandangan pepohonan dan rumah-rumah yang seperti berlesatan lari ke belakang dengan cepat.
Rutinitas tiap hari, kecuali Minggu, berangkat dan pulang kerja. Berangkat dengan stamina dan badan segar untuk kemudian pulang dengan wajah kuyu dan tubuh letih. Bau keringat dan parfum pada pakaian seperti pertarungan dua aroma dan ajang kompetisi bau yang berebut kemenangan. Langkah gegas para pekerja yang menunggu di peron stasiun untuk kemudian berebut masuk ke dalam gerbong bagaikan sekadar perlombaan untuk bertahan hidup. Kereta api hilir mudik, datang dan pergi, seperti kelahiran dan kematian yang saling mengisi dan menggantikan dalam siklus kehidupan. Biasanya, hari Minggu saya gunakan untuk mencuci dan menjemur baju. Sesekali saya jalan-jalan ke mall untuk sekadar cuci mata dari penatnya hari kerja. Toko buku serta lapak penjual majalah dan koran dekat stasiun juga menjadi tempat saya untuk melihat-lihat dan mengintip apakah ada bacaan menarik yang bisa menyegarkan pikiran.
Di tempat kerja, saya tidak tertarik untuk berteman dekat dengan siapapun. Saat itu saya memakai prinsip: kerja, pulang, gajian. Teman kerja hanyalah kolega dan partner dalam urusan pekerjaan saja. Di luar itu, saya tidak ingin dan tidak mau terjebak dalam perkumpulan orang yang bergosip dan mengeluh tentang banyak hal yang tak bisa mereka selesaikan. Saya memang introvert. Selain itu, saya juga tidak ingin ada teman kerja yang jadi akrab kemudian mengunjungi kamar kos saya dengan dalih silaturahmi atau bermain. Kamar saya berantakan, tidak luas, cat tembok buram, dekat dengan area di mana tikus got berkeliaran malam hari dan kecoa bisa menyelinap masuk ke kamar tanpa permisi. Kamar kos dengan harga sewa murah dan ramah di kantong. Dan saya tidak ingin kondisi kamar saya menyebar jadi bahan perbincangan di antara sesama teman kerja. Saat itu saya merasa, betapa hidup saya kacau dan berantakan sebagaimana wujud kamar saya.
Persamaan dari mereka para buruh yang gajian minggu keempat tiap bulan adalah makan enak di awal bulan dan meringis begitu mencapai minggu ketiga. Bahkan ada yang minggu kedua gajian sudah habis disedot cicilan hutang. Uang hanya sekadar lewat permisi tidak mau menetap. Kalau diringkas, hidup hanya sekadar kerja, makan, tidur, gajian dan habis. Begitu terus menerus seperti siklus berulang. Hidup yang tidak punya tujuan. Tujuan hidup setiap orang itu seperti sepeda motor. Tiap bagian ada fungsinya sendiri-sendiri. Meskipun hanya mur atau baut kecil tetap ada fungsinya. Kalau tidak difungsikan, sepeda motor lama-lama bisa rusak. Begitupun dengan diri manusia yang memiliki jasmani dan rohani, jiwa dan raga. Kalau kita melenceng dalam menggunakannya, hidup tidak akan bahagia. Terasa hampa. Bisa dihinggapi penyakit.
Untuk kalian yang di luar sana, yang merasa hidup kalian berantakan, dirundung kesulitan, terhimpit kesusahan, jangan berkecil hati. Jangan putus asa. Terus jalani hidup ini. Jangan terlalu banyak berpikir. Jalani dan lewati saja. Jangan berputus asa dengan mengakhiri hidup. Berusalah untuk keluar dari masalah dengan mencari mentor yang tepat, guru yang cocok dan sesuai, konselor yang sudah berpengalaman dan terpercaya. Kalau kamu sakit secara medis berdasarkan diagnosis, pergilah ke dokter. Jika kamu punya uang pergilah ke konselor. Jika hidupmu sering amburadul carilah orang yang paham dan bisa menunjukkan apa tujuan hidupmu, kekuatanmu, dan apa yang seharusnya kamu lakukan untuk bisa bangkit menjadi lebih baik. Menemukan titik balik yang bisa membuatmu melenting ke atas.
Saat ini saya adalah seorang manajer. Apa yang saya tulis di atas, sebagian adalah nasihat seseorang yang sudah saya anggap sebagai guru kehidupan. Seandainya saya tidak nekat, hidup saya barangkali tetap begitu-begitu saja tak ada kemajuan. Saat saya membuka-buka tabloid di lapak penjual majalah dekat stasiun, saya menemukan rubrik konsultasi tanya jawab. Ada nama Gus Massar sebagai penjawab pertanyaan pembaca yang merespon orang-orang yang sedang mengalami kesulitan hidup dari berbagai latar belakang profesi dan beragam problem yang mereka hadapi. Saat itu tahun 2011. Setelah berkonsultasi dengan Gus Massar dan saya menjalani terapi serta menerapkan anjuran dari beliau, perlahan hidup saya mulai tertata dan teratur. Mulai dari hal simpel yakni bangun tidur lebih awal dan merapikan kamar kos.
Tentu saja ada hal-hal lain yang harus saya lakukan yang pada intinya harus ada keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani, jiwa dan raga, serta ikhtiar atau usaha secara lahir dan batin. Saya juga menyisihkan uang sedikit demi sedikit sehingga bisa mengambil kursus dan kuliah kelas karyawan pada akhir pekan. Lima tahun berikutnya yakni 2016, karir saya mulai menanjak dari pegawai biasa kemudian menjadi kepala divisi, asisten manajer, hingga menjadi manajer. Saya tidak tinggal di kos lagi karena perusahaan sudah menyediakan fasilitas apartemen dan mobil beserta sopir untuk mobilitas terkait pekerjaan. Meskipun akhirnya saya bisa membeli mobil sendiri tapi jarang saya pakai selain untuk keperluan pribadi. Saya merasa lebih bahagia. Saya kini bisa membantu adik-adik saya dan mengirim uang kepada orangtua saya dengan jumlah yang layak dan lebih dari cukup.
Jadi sekaya dan sesukses apapun kita, hidup kita tidak akan bahagia sebelum menemukan tujuan hidup yang menjadi panggilan jiwa. Banyak orang yang belum tahu panggilan jiwanya. Mereka sering merasa sedih dan hampa tanpa tahu penyebabnya. Ada perbedaan antara penderitaan yang bisa kita hindari dengan penderitaan sebagai akibat dari pilihan kita sendiri. Memutuskan untuk bertemu dengan Gus Massar telah mengubah hidup saya dengan memilih keluar dari kesulitan hidup. Saya merasa sudah menemukan sosok guru yang tepat bagi hidup saya. Di bumi ini memang ada orang-orang yang khusus bertugas untuk membimbing orang lain menemukan life purpose. Gus Massar adalah salah satunya.
Bambang Wahyudi, Jakarta